Sabung Ayam Online Jorge Sampaoli: Di Bawah Bayang-Bayang Messi & Marcelo Bielsa
Sabung Ayam Online - Dengan hanya bercelana pendek dan mengenakan kaos oblong, Lionel Messi menyambut kedatangan Jorge Sampaoli ke rumahnya pada suatu Minggu yang cerah. Ia memang mengundang pelatihnya di tim nasional Argentina tersebut untuk berbincang santai sambil barbekyu. Konon, Messi sendiri yang memanggang daging di atas grill dan menyajikannya pribadi kepada Sampaoli.
Ini insiden langka. Dari tujuh instruktur yang pernah menangani La Pulga di Argentina (Jose Pekerman, Alfio Basile, Diego Maradona, Sergio Batista, Alejandro Sabella, Gerardo Martino, Edgardo Bauza), gres Sampaoli yang menerima ajakan tersebut. Seturut dongeng yang beredar, Messi memang ingin berbincang empat mata dengan Sampaoli sebelum Argentina bertanding di Piala Dunia 2018.
Syahdan, ketika daging sudah selesai disantap, keduanya kemudian terlibat perbincangan intens mengenai persiapan Albiceleste. Messi mendominasi percakapan. Ia dengan detail menjabarkan analisisnya terkait permainan Argentina di bawah Sampaoli: taktik, pilihan pemain, gugusan yang pas, sampai apa saja yang menurutnya harus segera dibabat dan ditambal.
Messi dengan lugas menyampaikan kepada Sampaoli: ia tidak cocok bermain dalam bagan 3-5-2. Menurutnya, dengan tiga bek dan dua gelandang tengah, ia kesulitan mencari ruang. Sementara kedua sisi pun juga sulit diandalkan karena posisi wingback yang dituntut naik turun. Messi menyebut waktunya di lapangan akan lebih banyak terkuras untuk bermanuver dalam mencari ruang sekaligus menjemput bola.
Untuk mengatasi hal tersebut, Messi menunjukkan solusi: gunakan bagan empat bek dan lapangkan area tengah. Dua bek sayap diminta rajin melaksanakan penetrasi ke depan, sementara dua bek tengah ditempatkan pada posisi sedikit di bawah titik sentral lapangan. Di atas kertas, Messi akan berperan sebagai mediapunta, gelandang serang. Namun dalam praktik, role-nya cenderung sebagai pemain nomor 8.
Sampaoli menyimak hal ini dengan serius. Sejak awal menangani Argentina, Sampoli memang kerap bereksperimen dengan banyak sekali formasi. Mulai dari 3-4-3, 3-4-2-1, 4-2-3-1 atau bagan yang asing menyerupai 2-3-3-2, 3-3-3-1 atau 2-4-3-1. Menanggapi Messi, ia punya argumennya sendiri: bagan 3-5-2 terpaksa dipakai karena di dalam skuat Argentina ketika ini, tidak ada pemain yang mumpuni untuk mengakomodir contoh 4 bek.
Kisah di atas sempat ditulis oleh kolumnis olahraga El Pais, Diego Torres, di kolomnya berjudul "Messi dirige, Sampaoli administra", yang kira-kira berarti: "Messi Mengarahkan, Sampaoli yang Melaksanakan") yang tayang pada 26 Maret 2018 lalu.
Terlepas dari diskusi menarik antar keduanya, hal itu juga termasuk kategori yang amat jarang terjadi dalam kehidupan Messi. Selama ini, ia dikenal sebagai sosok yang introvert, pendiam, tertutup, jarang bicara, you name it. Sikap tersebut bahkan sudah ditunjukkan semenjak ia pertama kali latihan di La Masia bersama pemain-pemain muda seangkatannya menyerupai Gerard Pique dan Cesc Fabregas.
Tak ada sepatah kata pun yang dikeluarkan Messi ketika itu. Di lapangan, ia menggiring bola menyerupai alien dari planet antah berantah. Di ruang ganti, ia duduk melamun di pojok usai merapikan peralatannya. Semua orang dibentuk terpukau dan heran sekaligus. Ia pun menerima julukan El Mudo: Si Pemurung.
Maka, kalau sekarang ia mempunyai inisiatif berdiskusi dengan pelatihnya di Argentina, tentu ada sesuatu yang benar-benar penting telah terjadi. Dan tak hanya berdiskusi, seiring buruknya permainan Argentina, terutama sesudah kekalahan memalukan dari Kroasia, Messi bahkan menyerupai lebih mengendalikan tim ketimbang Sampaoli.
Setelah beredar kabar bahwa para pemain senior tidak lagi menginginkan Sampaoli jelang laga melawan Nigeria, beredar potongan klip yang memperlihatkan, berdasarkan sejumlah media, Sampaoli seperti bertanya apakah Messi menginginkan Aguero masuk ke lapangan? Saat itu Aguero duduk di dingklik cadangan, dan tak usang kemudian sesudah adegan itu, Aguero memang masuk ke lapangan.
Tak ada konfirmasi dari Messi atau Sampaoli. Yang pasti, ketika menghadapi Nigeria, Argentina bermain dengan gugusan empat bek (4-4-2 yang di lapangan menjadi 4-3-3), bukan gugusan 3 bek menyerupai yang sempat dikehendaki Sampaoli saat bertandang ke rumah Messi.
Satu lagi: sesudah mengalahkan Nigeria, Sampaoli mengucapkan kalimat yang sedikit banyak menunjukkan ia memang inferior di hadapan Messi. Dengan nada rendah, Sampaoli berkata wacana Messi:
"Ketika Leo memeluk saya, saya merasa sangat besar hati dan bahagia. Dia tahu betapa saya sangat bergairah, bersemangat setiap hari. Saya mempunyai peluang untuk bepergian bersamanya, dan membuatkan banyak momen dengannya sebelum Piala Dunia. Dia tahu saya, dan beliau tahu saya dengan baik."
Ucapan Sampaoli itu, rasa-rasanya, lebih terasa sebagai permohonan ketimbang kerendahan hati.
Sampaoli, Si Murid Bielsa
Jika dibandingkan dengan pelatih-pelatih legendaris sekaliber Rinus Michels atau Arrigo Sacchi, Sampaoli terang tidak ada apa-apanya. Rekam jejak sebagai pemain pun biasa saja. Ia hanya pernah memperkuat tim muda Newell's Old Boys sepanjang 1977-1979, dan pada usia 19 tahun sudah harus pensiun dini karena mengalami kelainan tulang lutut.
Pada 2002, ketika berusia 42 tahun, Sampaoli memulai karier kepelatihannya. Diawali dari klub Peru, Juan Aurich, kemudian dengan durasi yang cukup cepat, ia segera malang melintang: Sport Boys (2003), Coronel Bolognesi (2004–2006), Sporting Cristal (2007), O'Higgins (2008–2009), Emelec (2010), Universidad de Chile (2010–2012), timnas Chile (2012–2016), Sevilla (2016–2017), kemudian semenjak 2017 mulai menangani Argentina.
Namanya mulai santer didengar publik sepakbola ketika menangani Chile. Selain sukses membawa negara tersebut menjuarai Copa America 2015 (dengan mengalahkan Argentina di final!), di tahun tersebut ia juga menyabet banyak sekali gelar individu seperti: Pelatih Terbaik Copa America, Pelatih Terbaik Amerika Selatan, dan Pelatih Terbaik Versi IFFHS.
Pendekatan Sampaoli dalam melatih banyak dipengaruhi oleh Marcelo Bielsa. Ia pun mengakui hal itu dan tanpa keberatan menyebut dirinya sebagai Bielsa’s disciple, murid Bielsa. Dengan rendah hati ia mengatakan:
“Saya kira, Marcelo berada di level atas bersam pelatih-pelatih terbaik di dunia. Jadi, membandingkan atau berpikir Marcelo menyerupai dengan orang lain saya kira tidak adil, karena ia sudah beliau sudah melampaui semuanya atau paling tidak, ya, instruktur kebanyakan. Saya sangat bersyukur pernah berguru banyak dari Bielsa.”
Bielsa, sesuai julukannya, El Loco atau Si Gila, memang instruktur “kurang waras”. Pendekatan taktiknya selalu tidak biasa, untuk tidak menyampaikan “revolusioner”. Sebagai instruktur yang juga berasal dari Argentina, Bielsa mempunyai racikan taktikal sendiri yang, bagi sebagian orang, dianggap sukses mengangkangi dikotomi tradisional Cesar Luis Menotti dan Carlos Bilardo.
Ada dua ciri khas utama Bielsa: garis pertahanan tinggi dan man-to-man marking. Dalam laga apa pun, ia selalu menerapkan garis pertahanan tinggi, bahkan amat tinggi, semenjak menit awal. Ia juga amat jarang menerapkan zonal marking, dan lebih menentukan pendekatan di mana satu pemain diwajibkan melekat ketat satu lawan.
Saat masih melatih Marseille, Bielsa bahkan dianggap melakoni laga tanpa gugusan kala melawan Paris Saint-German di Ligue 1 pada 2015 silam. Di atas kertas, ia memang menerapkan 3-3-3-1 (3-3-1-3 ketika menyerang), sementara PSG tampil menggunakan 4-3-3. Sejak menit awal, Bielsa sudah memberi arahan kepada pemainnya untuk melaksanakan man-to-man marking yang ekstrem. Dengan demikian, penempatan posisi para penggawa Marseille pun tergantung kepada kawasan lawan mereka berada.
Jeremy Morel dan Rod Fanni bertugas mengawal pergerakan Zlatan Ibrahimovic dan Edinson Cavani--keduanya sanggup bertukar penjagaan sewaktu-waktu. Alaixys Romao terus memepet Javier Pastore. Mario Lemina melekat ketat Marco Verratti. Benjamin Mendy selalu mengikuti pergerakan Thiago Motta. Brice Dja Djedje kerap bertarung dengan Blaise Matuidi. Andre Ayew dan Florian Thauvin bertanggung jawab terhadap kedua bek sayap PSG. Sementara striker Andre-Pierre Gignac juga bekerja khusus untuk mengganggu Thiago Silva.
Melalui pendekatan tersebut, para pemain Marseille mau tidak mau harus cakap melaksanakan improvisasi dalam memulai serangan semenjak bola berhasil direbut. Di kawasan di mana bola didapat, di sanalah serangan harus dibangun. Dan semua tergantung dengan posisi berdirinya lawan masing-masing. Kombinasi man-to-man marking dan improvisasi tersebut menunjukkan hasilnya ketika Marseille menyarangkan gol kedua ke gawang PSG. Kendati pada hasilnya justru PSG yang berhasil memenangkan laga dengan skor 3-2.
Menyaksikan bagaimana sepakbola dimainkan dalam taktik Bielsa memang menarik. Persoalannya, kegilaan semacam itu hanya akan berjalan kalau mempunyai skuat dengan fisik tangguh. Selain itu, tingginya garis pertahanan dan man-to-man marking ekstrim dalam taktik Bielsa kerap menjadikan banyak celah di pertahanan yang amat rentan dieksploitasi lawan. Itulah kenapa efek konkret taktik Bielsa hanya muncul sesekali atau pada awal ekspresi dominan digelar saja. Selebihnya: skuat kehabisan tenaga. Urusan kehabisan tenaga ini lebih sering disebabkan Bielsa kerap tak punya skuat yang dalam.
Sampaoli mempelajari segala hal dari Bielsa, terutama soal pentingnya menerapkan garis pertahanan tinggi, penguasaan bola, dan memberi tekanan ketat terhadap lawan. Ia pun menerapkannya semenjak melatih Chile. Hanya saja, ia tidak pernah segila dan seidealis gurunya tersebut. Kelak, orang-orang akan mengenal Sampaoli sebagai instruktur yang gemar melaksanakan eksperimen formasi.
Bagaimana Sampaoli Menyulap Chile?
Sejak menggantikan Claudio Borghi sebagai instruktur Chile, Sampaoli segera tancap gas dengan menciptakan beberapa perubahan fundamental. Mulai dari pendekatan seni administrasi sampai mengotak-atik posisi pemain.
Borghi sesungguhnya mengikuti tradisi Bielsa dengan menggunakan bagan tiga bek, namun hanya memainkan dua penyerang: Alexis Sanches dan Humberto Suazo dengan posisi statis di depan. Selain itu, ia juga menginstruksikan para pemainnya untuk membentuk garis pertahanan rendah dan mengandalkan serangan balik.
Masalah utama dalam taktik ini adalah: lawan menjadi lebih sering melaksanakan umpan silang ke kotak penalti Chile. Dengan dihuni oleh pemain-pemain bertahan yang lemah dalam duel udara menyerupai Gary Medel atau Gonzalo Jara, hal tersebut terang menjadi kelemahan Chile.
Oleh Sampaoli, pendekatan tersebut diubah. Pelatih berkepala plontos itu mengembalikan permainan khas Chile menyerupai kurun Bielsa yang kerap melaksanakan intensitas pressing yang tinggi. Skema permainan tersebut disempurnakan pula dengan gairah tinggi setiap pemainnya. Namun ia sempat pula bereksperimen sebelumnya.
Dalam laga pertama kontra Peru di babak kualifikasi Piala Dunia 2014, Sampaoli mencoba gugusan 4-3-3 dengan pendekatan taktik permainan yang hampir sama dengan Bielsa. Ia juga turut memainkan tiga penyerang berkaki cepat (Eduardo Vargas, Jean Beausejour, dan Alexis Sanchez sebagai penyerang tengah). Eksperimen ini tidak berhasil dan Chile pun kalah dengan skor 0-1.
Sadar eksperimen dengan skeman empat bek tidak berjalan, Sampaoli hasilnya menggunakan pakem tiga bek: 3-4-3, Gary Medel ditempatkan sebagai bek tengah menyerupai kurun Bielsa ketika melatih Chile. Empat gelandang di tengah membentuk gugusan berlian dengan Marcelo Diaz sebagai gelandang bertahan dan Charles Aranguiz menjadi playmaker.
Mauricio Isla dan Euginio Mena ditempatkan di pos bek sayap yang mutlak mesti menekan lawan tiap melaksanakan transisi ke bertahan. Setelah keduanya mundur, bagan pertahanan bermetamorfosis lima bek sejajar. Skema ini berjalan lancar. Dalam laga kontra Uruguay, Chile menang dengan skor 2-0.
Jika pun ada kelebihan dari Sampaoli ialah ia bisa menerapkan gaya bermain pressing tinggi dalam banyak sekali bentuk formasi. Medel, misalnya, beberapa kali ia tempatkan sebagai bek kanan dalam gugusan 4-3-3. Arturo Vidal, yang notabene merupakan gelandang tengah, posisinya juga kerap diubah menjadi sedekat mungkin ke lini pertahanan lawan.
Bahkan Sampaoli juga sempat menerapkan taktik tanpa striker dalam gugusan 4-3-1-2. Dua penyerang di depan (Vargas dan Sanchez) dimainkan lebih melebar. Semantara Vidal atau Jorge Valdivia, bermain sebagai gelandang serang yang menempati area penyerang tengah ketika melakukan pressing.
Selain konsep pressing dan garis pertahanan yang tinggi, Sampaoli turut menerapkan ilmu lain yang ia sanggup dari Bielsa, yaitu memainkan pemain terbaik tidak pada posisi ideal mereka. Hal ini tentu saja dilakukan demi mengakomodir seni administrasi di lapangan. Vidal, lagi-lagi, menjadi bintang film yang kerap terkena efek dari pendekatan ini. Ia pernah ditempatkan sebagai bek kanan atau bek tengah. Diaz sebagai bek tengah. Sementara Medel mempunyai tiga posisi (gelandang, bek tengah, bek kiri).
Pada Piala Dunia 2014, Chile yang berada di grup “neraka” (Grup B) bersama Belanda, Spanyol, dan Australia, tetap mempertahankan contoh permainan yang sama. Kendati hanya mencapai babak 16 besar (kalah 2-3 dalam babak laga penalti dari Brazil), mereka sempat mengalahkan juara bertahan Spanyol di fase grup dengan skor 2-0.
Pencapaian terbaik Sampaoli bersama Chile ialah ketika berlaga di Copa America 2015. Chile yang berstatus tuan rumah berhasil menjadi juara untuk pertama kalinya dalam sejarah sesudah menumbangkan Argentina di babak final. Sejak itu, namanya mulai bergaung di tanah Eropa. Pada 27 Juni 2016, Sevilla pun menyodorkan kontrak 2,5 tahun kepada Sampaoli.
Dengan masih menggunakan seni administrasi yang sama, salah satu keberhasilan Sampaoli di Sevilla di La Liga ialah menghentikan rekor 40 laga tanpa kalah Real Madrid. Anak asuh Zinedine Zidane tumbang dengan skor 1-2 dari skuat Sevilla di bawah Sampaoli.
Menjadi Calon Pecundang di Argentina?
Bersama Argentina, Sampaoli sejatinya mempunyai amunisi lebih dari cukup untuk mengambarkan kapasitasnya. Jejalin keduanya bahkan tampak menyerupai simbiosis mutualisme. Di satu sisi Sampaoli tengah berada dalam trek menuju karier kepelatihan. Di sisi lain, Argentina (Messi terutama) juga butuh instruktur mumpuni untuk meraih trofi bergengsi.
Namun, kalau melihat pencapaiannya sampai ketika ini, nasib Sampaoli benar-benar tak menentu. Ia tak hanya gagal menunjukkan formula terbaik untuk Messi dkk. Penampilan mereka di bawah Sampaoli bahkan disebut sebagai salah satu yang terburuk sepanjang sejarah.
Saat dikalahkan Kroasia, wajah Sampaoli terlihat amat stres. Di pinggr lapangan ia selalu mondar-mandir sambil sesekali memegangi kepala plontosnya. Namun, semenjak gol ketiga disarangkan Ivan Rakitic ke gawang Willy Cabalero, Sampaoli makin tak berkutik. Ia pun kemudian melepas jasnya dan tinggal menyisakan kaos hitam polos. Tangan Sampaoli yang dipenuhi dengan tato pun terlihat jelas.
Dari sekian tatonya tersebut, ada sebuah penggalan lirik lagu dari grup musik rok asal Argentina, Callejeros, yang berjudul: Prohibido (Yang Terlarang). Ia memacak lirik tersebut di lengan kirinya: "No escucho y sigo, porque mucho de lo que esta prohibido me hace vivir." Dalam bahasa Indonesia, artinya kurang lebih: "Saya menolak mendengar apalagi menjadi pengikut, karena yang terlarang itu memenuhi jiwa dengan kehidupan."
Ia menentukan penggalan lirik lagu tersebut sebagai salah satu tatonya. Menurut Sampaoli, lagu itu mencerminkan bagaimana ia bersikap selama ini dalam hidup. Dalam wawancara yang dilansir AS pada Maret 2018 lalu, Sampaoli mengatakan:
"Kalau saya mendengar apa yang dikatakan orang-orang, mungkin saya sudah berhenti melatih dan bekerja di bank. Saya terang tidak punya peluang bertahan di dunia sepak bola, tapi saya menolak buat mendapatkan situasinya. Saya menutup indera pendengaran dan terus berjuang. Itulah seni memberontak, tak membiarkan orang menyetop apa yang sedang kita perjuangkan. Lirik lagu itu membekas di hati dan itu alasan saya memakainya untuk tato.”
Sampaoli mungkin memang seorang pemberontak. Tapi kali ini, ia tampaknya harus membuka telinga, berhenti untuk kelewat ngotot, dan membuka diri pada semua kemungkinan: termasuk menjadi pelaksana ide-ide Lionel Messi.